Thursday, April 23, 2009

Arti dan Fungsi Sarana Upakara

Berikut ini adalah tulisan tentang rangkuman pada buku arti dan fungsi sarana upakara.

Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan Karma dan Jnyana. Bhakti, Karma dan Jnyana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci sudah ada sastra-sastranya yang dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yang artinya peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari Karma dan Jnyana adalah Bhakti atau penyeraha diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan cara seperti itulah Karma dan Jnyana Marga akan mempunyai nilai yang tinggi.

Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-simbul atau sarana. Simbul - simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut ”Apara Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para Bhakti”.

Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat persembahan antara lain:
- Pattram = daun-daunan,
- Puspam = bunga-bungaan,
- Phalam = buah-buahan,
- Toyam = air suci atau tirtha.
Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud “dipa dan dhÅ­pa” merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.



Arti dan Fungsi Bunga

Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita suci.

Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.

Dari Bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti : canang, kewangen, bhasma dan bija. Canang, kewangen, bhasma dan bija ini adalah sarana persembahyangan yang berasal dari unsur bunga, daun, buah dan air. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tatwa Agama Hindu.

Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut antara lain yaitu :


1. Canang

Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur - unsur pokok daripada canang tersebut adalah:

a. Porosan terdiri dari : pinang, kapur dibungkus dengan sirih.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti.
c. Bunga lambang keikhlasan
d. Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
e. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.

2. Kewangen

Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata “Wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi “kewangian”, lalu disandikan menjadi Kewangen, yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah ada gambaran bagi kita tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.

Arti dan makna unsur yang membentuk kewangen tersebut adalah Kewangen lambang ”Omkara”. Kewangen disamping sebagai sarana pokok dalam persembahyangan, juga dipergunakan dalam berbagai upacara Pancayadnya. Kewangen sebagai salah satu sarana penting untuk melengkapi banten pedagingan untuk mendasari suatu bangunan.

Demikian pula dalam upacara Pitra Yadnya, ketika dilangsungkan upacara memandikan mayat, kewangen diletakkan di setiap persendian orang meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah kewangen, dimana fungsi kewangen disini adalah sebagai lambang Pancadatu (lambang unsur-unsur alam) sendang fungsi Kawangen dalam upacara memandikan mayat sebagai pengurip-urip.

3. Bunga sebagai Lambang, antara lain
a. Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.



Arti dan Fungsi Api Dhupa dan Dipa

Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan : Dhupa dan Dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibbakar sehingga berasap dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :

1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.

Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Disinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan sastra dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan guna.



Arti dan Fungsi Tirtha

Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam persembahyangan yaitu : Air untuk membersihkan mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha inipun ada dua macamnya yaitu: tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-bhatari dan Tirtha dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep. Selain sarana itu, biasanya dilengkapi juga dengan bija, dan bhasma yang disebut gandhaksta.

Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha.

Macam - macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan
b. Tirtha berfungsi sebagai pengurip / penciptaan.
c. Tirtha berfungsi sebagai pemeliharaan

Dalam Rg Weda I, bagian kedua sukta 5, mantra 2 dan 5 dijelaskan Dewa Indra sebagai pemberi air soma yang merupakan air suci. Mantra adalah Weda, sehingga kitab Catur Weda disebut kitab Mantra, karena tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra itu banyak macam dan ragamnya, ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tida atau lima suku kata seperti: Om Ang Ah, Ang Ung Mang, Sang Bang Tang Ang Ing dan sebagainya. Mantra juga disebut ”Bija Mantra”. Suku kata yang demikian itu dianggap mengandung sakti, disebut ”Wijaksara”.

Mantra yang digunakan sebagai pengantar upacara disebut : Brahma. Nama ini kemudian digunakan untuk menyebutkan, Ia yang maha kuasa. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan dalam salah satu manifestasinya disebut ”Stawa” misalnya ”Siwastawa, Barunastawa, Wisnustawa, Durghastawa, dan sebagainya.

Mantra pada umumnya memakai lagu dan irama, sehingga mantra juga disebut ”Stotra”. Dalam sekian banyak mantra, contoh dua buah mantra yaitu mantra ”Puja Trisandhya” dan mantra ”Apsudewastawa” dapat diambil kesimpulan bahwa mantra adalah sebagai sarana persembahyangan yang berwujud bukan benda (non material) yang harus diucapkan dengan penuh keyakinan. Tanpa keyakinan semua sarana persembahyangan itu akan sia-sia, untuk dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja.

Sunday, April 12, 2009

Mengurai Nyepi dan Saka

Dikutip dari : Tabloid Pasupati
Oleh : Ida Pandita Mpu
Dharma Mukti Sidha Kerti .

Hari Raya Nyepi menjadi salah satu hari raya besar, memiliki sekelumit kisah yang berasal dari tanah India pada abad sebelum masehi, Perayaan ini juga menjadi sebuah sejarah, dimana berhentinya pertikaian yang terjadi antar suku yang ada di India.

Hari Raya Nyepi jatuh pada Tilem Kesanga di bulan Maret, merupakan salah satu hari raya besar bagi umat Hindu Bali. Hari yang menurut sejarah pelaksanaannya dimulai sejak tahun 78 masehi, memiliki sekelumit kisah yang bisa menjadi sebuah refleksi bagi umat Hindu yang ada di Indonesia.
Mengingat pada tahun 248 masehi, pertikaian antar – suku di India sangat memprihatinkan , dalam jaman itu pertikaian selalu mewarnai suku-suku di India , beberapa suku yang ada , seperti : Pahlawa, Saka, Yuehchi, Yawana dan Makawa, selalu bertikai dengan tujuan mencari Kekuasaan.

Suku – suku tersebutpun silih berganti mengalami kemenangan, mulai ketika suku Pahlawa mengalahkan suku Yawana dan suku Saka , lalu suku Saka berhasil mengalahkan suku lainnya sehingga kembali harus berhadapan dengan suku yang sebelumnya pernah menaklukannya. Kemudian suku Saka sempat mengalami masa kejayaan pada tahun sebelum masehi , menyadari pertikaian yang masih berlangsung, suku bangsa Saka yang terdiri dari "Saka Tigrakhauda, Saka Haumawarga dan Saka Taradaraya”, mengubah garis perjuangan mereka yang sebelumnya dibawah garis Politik dan Militer.

Kali ini diganti garis perjuangan Kebudayaan, hal tersebut mengakibatkan kebudayaan suku bangsa Saka melekat di dalam kehidupan se hari-hari rakyat, pada saat kekuasaan suku Saka, penanggalan yang digunakan oleh Negara adalah menggunakan penanggalan berdasarkan letak posisi matahari yang dikenal dengan penanggalan “Saka”.

Sekitar tahun 125 sebelum masehi, suku bangsa Yueh-chi yang memegang tapuk kekuasaan, melihat suku bangsa Saka yang mengubah arah perjuangannya, suku bangsa Yueh-chi yang saat itu dipimpin dinasti Kusana merasa terketuk hatinya , pasalnya ketika suku bangsa Saka memegang kekuasaan, tidak ada tindakan penindasan yang dilakukan kepada suku bangsa yang tunduk dibawah kekuasaannya.

Berbagi seni dan budaya yang dihidupkan akhirnya dijadikan”Kebudayaan Negara”, hingga pada tahun 78 masehi, seorang dari dinasti Kusana bernama “Kaniska” dilantik menjadi seorang raja. Dengan bijaksana diresmikanlah kalender tahun Saka sebagai system pengalenderan yang berlaku pada zaman tersebut, saat peresmian, ada beberapa bulan yang ditetapkan pada saat itu , di antaranya Chitirai atau disebut dengan Mesha dan istilah lainnya Waisaka.

Dalam istilah Bali dinamakan sasih Kadasa , serta masih banyak lagi nama bulan yang ditetapkan dalam penanggalan saka saat itu , tepatnya pada 21 Maret 79 masehi hal tersebut dilakukan untuk mengenang kejayaan suku bangsa Saka dan merupakan hari penobatan menjadi seorang raja. Pada saat kepemimpinan Raja Kaniska, banyak sekali kemajuan yang terjadi, kesetabilan politik dan toleransi umat Hindu dan Bhuda selalu berjalan sinergis, berbagai kesenian dan kebudayaan dari beberapa suku bangsa yang ada menjadi berkembang dan tetap lestari.

Selain itu penghargaan tertinggi untuk para umat agama yang ada pada saat itu, dibuktikan dengan seringnya melakukan pertemuan besar antar – umat beragama yang pada saat itu adalah Hindu dan Budha, pesamuan agung atau yang disebut sidang raya tersebut, dilakukan oleh Kaniska untuk menjaga kerukunan umat beragama, agar selalu bisa beriringan dalam membangun pemerintahan.

Hubungan diplomasi keluar, seperti dengan Yunani, China dan India bagian selatan berlangsung kian baik , beberapa pengaruh dari kekuasaan raja Kaniska juga dapat dilihat dari banyak hal , salah satunya dari system penanggalan yang digunakan oleh beberapa kawasan India bagian timur dan India bagian Utara.

Ketika pengaruh tahun saka belum masuk, bangsa – bangsa tersebut masih menganut penanggalan Chandra, yakni berpatokan pada letak posisi bulan, hingga akhirnya pengaruh penanggalan sampai ke Bali dan dipadukan penggunaannya dengan penanggalan Chandra yang digunakan sampai saat ini hanya saja, karena perbedaan letak geografis dan tempat yang menjadikan perbedaan letak posisi matahari, akhirnya membedakan ketepatan jatuhnya perayaan Tahun Baru Saka di Indonesia dengan perayaan Tahun Baru Saka India.

Pada saat Tahun Baru Saka yang jatuh setelah Tilem sasih kesanga, beberapa lontar menyebutkan adanya ritual yang harus dilakukan oleh umat Hindu di Bali, seperti halnya yang terdapat di lontar Sri Aji Kasanu, dimana disebutkan ada salah satu ritual yang ditafsir dengan istilah Nyepi, adapun beberapa bait lontar menyebutkan ; "ring tileming sasih kesanga patut mapraketi caru tawur wastanya, sadulur Nyepi awengi".
Kalimat tersebut bermakna , bahwa pada tilem sasih kesanga, patut melakukan upacara Bhuta Yadnya yaitu caru yang disebut dengan “Tawur”, yang dilanjutkan dengan Nyepi sehari , sehingga setelah melakukan upacara tawur pada tilem sasih kesanga , umat Hindu di Bali pada umumnya melakukan yang disebut dengan Nyepi untuk menyambut datangnya sasih Kadasa yang merupakan awal dari Tahun Baru Saka.

Perlukah Kita Memantra ?

Menurut Svami Siwananda

PRANAWA

OM, (Aum) adalah segala-galanya.
OM adalah nama suci Tuhan, Isvara atau Brahman.
OM adalah nama sejati-MU.
OM meliputi ketiga lapisan dunia.
OM melambangkan segala dunia fenomenal.
Dari OM alam semesta indra-indra ini diproyeksikan.
Dunia ini ada dan lenyap dalam OM.
A mewakili alam fisik
U mewakili alam mental dan astral, alamnya para siddha (jiwa cerdas), semua sorga.
M mewakili seluruh alam dalam keadaan lelap bahkan dalam keadaan bangunpun, semua yang tak dapat dikenali yang berada diluar pencapaian kecerdasan.
OM mewakili segala-galnya.
OM adalah dasar kehidupan, pemikiran dan kecerdasan.
OM adalah segala-galanya.
Semua kata yang menyatakan obyek terpusatkan pada OM.

Oleh karena seluruh dunia ini berasal dari OM, bersandarkan dalam OM dan hancur dalam OM.
Duduklah dalam meditasi, ucapkan OM dengan keras tiga, enam atau dua belas kali. Seluruh pikiran duniawi akan lenyap dari pikiranmu dan menghilangkan viksepa (pikiran yang terombang-ambing). Kemudian ucapkan OM dalam hati. Japa OM (pranawa japa) mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam pikiran. Pengucapan aksara suci OM merupakan salah satu yang menjadi pusat perhatian semua orang Eropa untuk mempelajari pengetahuan ketimuran.

Vibrasi yang dihasilkan dalam kata ini sangat dahsyat. Nampaknya sulit dipercaya kecuali harus dicoba untuk melatihnya. Bila seorang telah mencobanya maka ia dengan mudah dapat memahaminya bahwa pernyataan di atas adalah benar sama sekali. Aku telah mencoba kekuatan vibrasi yang dihasilkan dan sangat dapat dipercaya efek yang ditimbulkannya.

Diucapkan dalam cara yang benar atau diucapkan dengan cara dieja mempunyai pengaruh yang pasti pada murid, membangunkan dan mengubah setiap atom dalam fisiknya, menghasilkan vibrasi dan kondisi yang baru serta membangunkan kekuatan diri yang terpendam.

Selamat mencoba

Sebentuk cuplikan tentang Kepasrahan

Karena sifat ego yang dimiliki manusia, akan membuat mereka terus berjuang melawan permasalahan dan ketika perjuangannya menemui kekalahan, disitulah kepasrahan muncul. Dan kepasrahan itu pula yang akan membawa pikiran untuk kembali pada keyakinannya kepada KU.

Kepasrahan itu adalah suatu bentuk keyakinan dalam pikiran manusia untuk menyerahkan permasalahannya kepada kekuasaan bawah sadar. Dan seperti yang telah KU katakan, bawah sadar menyimpan segala penyelesaian masalah. Tak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan.

Bilamana kepasrahan tersebut tidak disertai keyakinan, karena dimunculkan sebelum usaha yang dilakukan mencapai batas kemampuan, maka kepasrahan itu akan sia-sia. Sebab samudra pengetahuan bawah sadar hanya menerima kepasrahan yang disertai keyakinan. Bilamana masih ada keraguan, maka bawah sadar akan merespon bahwa pikiran sadar ternyata masih mampu memecahkan masalah yang dihadapi.

Tidak usah dimunculkan, sebab kepasrahan akan muncul dengan sendirinya bilamana kemampuan sadar yang dikendalikan oleh ego telah kehilangan kemampuan untuk berbuat. Jadi kesimpulannya, engkau harus terus berbuat namun tetap menyerahkan semua hasilnya pada KU. AKU selalu ada untukmu, sadar atau tidak sadar, maka Bekerjalah.

Penulis : Mara

Belajarlah Menjadi Orang Bodoh

Bagaimana cara terbaik dalam belajar agar wawasan berfikir menjadi luas?
(demikian sebuah pertanyaan)

Belajarlah menjadi orang bodoh.

Bukankah belajar itu untuk menjadi pintar?

Tujuan belajar memang untuk menjadi pintar, tetapi untuk menjadi pintar hendaklah belajar menjadi bodoh terlebih dahulu. Agar bisa menjadi pintar, orang harus menyerap berbagai ilmu dan teori tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan ini, baik kehidupan material maupun kehidupan spiritual. Untuk dapat memperoleh semua ilmu pengetahuan itu, tentulah seseorang harus menempatkan diri pada posisi bodoh, sebab bukankah hanya mereka yang bodoh akan iklas dalam belajar?

Hanya dengan kerendahan hati dan memandang diri sebagai orang yang masih terlampau jauh dari kesempurnaan pengetahuan, maka segala ilmu tentang kehidupan akan mendatangimu. Jika ego negatif yang terlebih dulu berkuasa, maka kamu akan merasa lebih superior dan merasa memiliki kepintaran melampaui orang lain, sehingga enggan menerima pengetahuan dari orang lain. Padahal, pada diri setiap orang selalu ada kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lainnya. Nah, mereka yang bijaksana sebaliknya akan senantiasa iklas menyerap kelebihan orang lain, sehingga segala kekurangan yang ada dalam dirinya akan tertutupi oleh kelebihan yang dia dapat dari orang tersebut. Pengetahuannya kian bertambah dan mencapai suatu pencerahan akan pengetahuan yang maha sempurna.

Mereka yang belajar menjadi bodoh ibarat seseorang yang mencari madu dengan wadah yang kosong. Dia akan mendapatkan lebih banyak madu untuk dinikmati. Sedangkan dia yang terlebih dulu belajar menjadi pintar, ibarat orang yang datang membawa wadah yang sudah terisi oleh air, sehingga hanya sedikit madu yang bisa ditampungnya.

Untuk belajar menjadi bodoh, terlebih dahulu setiap orang harus belajar mengendalikan ego negatifnya. Jika ego tidak mampu dikuasai, maka sulit untuk belajar rendah hati dihadapan orang lain. Sulitnya memunculkan sifat rendah hati ini akan menyulitkan orang untuk menjadi bodoh, apalagi untuk menjadi pintar.

Bagaimana cara mengalahkan ego?

Ego adalah bagian alamiah dalam diri setiap orang, dia tidak perlu dikalahkan. Ego hanya perlu dikendalikan dan diarahkan sehingga menjadi bermanfaat.

Sepenggal Dialog Spiritual II
Oleh Mustika W.

Ilmu Pengetahuan Dan Spiritual

Oleh : I Wayan Gede Suacana & Kadek Yudhiantara

Dalam beberapa dekade terakhir ini kecenderungan arah ilmu pengetahuan lebih tertuju kepada sesuatu yang berkenaan berbagai jenis fanomena material yang dapat diamati di alam semesta ini. Spiritualitas sebagai titik pusat pengembangan semua agama di dunia, yang juga merupakan titik pertemuan ilmu pengetahuan karena keduanya memiliki tujuan ilmu yang sama yaitu penyelidikan tentang realitas terakhir sedikit dipinggirkan. Ilmu pengetahuan yang mempelajari realitas dunia material menjadi lebih dominan dibandingkan spiritual yang lebih banyak menyoroti realitas keberadaan jiwa manusia dalam hidupnya.

Spiritualitas dan Ilmu pengetahuan idealnya bersinergi dan berjalan secara parallel, karena ilmu pengetahuan akan memperkaya kehidupan dengan kebahagiaan material sedangkan spiritualitas meningkatkan serta memuliakan kahidupan kemudian mengisinya dengan ketenangan, ketentraman, kepuasan diri, kasih sayang, kedamaian, kesucian, keselarasan dan kebahagiaan.

Dalam Upanisad dikatakan bahwa ada dua macam hal sesungguhnya yang dicari manusia. Yang pertama, berhubungan dengan dunia material yang fana, dan yang kedua metode atau cara mengatasinya yang akan membawanya pada realitas akhir yang immortal. Vedanta sendiri menganggap kehidupan dunia sebagai bagian dari integral dari kehidupan spiritual. Pemisahan salah satu dari yang lainnya dianggap sebagai ketidaktahuan belaka tentang kebenaran hidup.

Pada awalnya penduduk dunia kurang lebih satu milyar. Waktu itu jumlah orang yang mendalami kerohaniaan atau spiritualitas dengan tujuan pembebasan cukup besar. Kini penduduk dunia terus bertambah namun pencari pembebasan justru berkurang. Dengan bertambahnya penduduk seharusnya peminat spiritualitas juga bertambah secara seimbang tetapi hal ini tidak terjadi. Keadaan ini cukuplah dipahami sebagai salah satu ciri zaman kali.

Setiap orang mempunyai dua organ penting, Kepala dan Hati. Prawrithi (minat pada dunia lahiriah) timbul dari kepala, sementara Niwrithi (minat pada rohaniah) timbul dari hati. Apa yang terjadi dan dapat disaksikan saat sekarang adalah pertumbuhan angan-angan yang berlebihan dalam kepala. Ini berarti bahwa keterlibatan dalam dunia lahiriah berkembang terus dari waktu ke waktu. Tetapi rasa batiniah tidak berkembang bersama-sama dengan keteguhan dan kesucian. Perubahan zaman dan dunia tidak diikuti oleh perkembangan hati manusia. Dengan tidak berkembangnya hati manusia kesempurnaan, tidak akan tercapai.

Mengapa hati manusia dewasa ini tidak berkembang ? Mengapa hanya kemampuan otak dan rasionalitasnya saja yang berkembang ? Banyak kalangan yang mensinyalir hal itu disebabkan oleh system pendidikan sekuler yang dianut sekarang. Paradigma pendidikan jenis ini mengalihkan perhatian manusia kepada dunia lahiriah dan pengetahuan duniawi, serta menjauhkannya dari pengetahuan spiritual. Manusia seolah enggan memasuki dunia yang terbentang luas di dalam dirinya sendiri.

Sistem pendidikan idealnya berupaya manuju titik keseimbangan antar pengetahuan duniawi dan spiritual. Banyak Guru Suci dari berbagai disiplin dan tradisi spiritual, telah hadir dimuka bumi untuk membantu manusia mengisi ruang hati mereka dengan cahaya kebijaksanaan spiritual. Ajaran kebijaksanaan yang sangat purwakala, Veda pun ditegakkan kembali. Para Guru spiritual itu tanpa kenal lelah mengajak kita untuk berkebun bunga kebajikan, menanam pohon-pohon kedamaian, menyiraminya dengan air pengetahuan dan memupuknya dengan kasih sayang.
Mereka datang seolah bergelombang dari satu jaman ke jaman lainnya, dengan senyum, wacana dan spirit yang sama meski dalam rupa dan jubah warna warni, untuk menegakkan kembali pilar pilar spiritual yang lapuk dari dalam hati manusia. Ajaran para Guru Suci itu muncul dan mengeruak kepermukaan dari samudra kebijaksanaan Veda-Vedanta yang tak bertepi atau turun mengalir dari puncak bukit kedamaian tertinggi, untuk mengingatkan kembali manusia betapa indahnya hidup manusia bila dihiasi kebun bunga kebajikan yang tumbuh subur diatas tanah lapang spiritual hati manusia.

Yadnya Dalam Bhagawadgita

Oleh : Mandayuh, Denpasar

Yajna berasal dari akar kata “Yaj” persembahan, pemujaan, pengorbanan. Yajna dalam artian sempit tidaklah semata ritualistik saja tapi didalamnya terkandung nilai kosmis, filosofis, religius dan sosiologis yang dapat menyerap berbagai aspek kehidupan . Yajna suatu pelayanan kehadapan Hyang Widhi secara tulus iklas sebagai momentum bagi umat Hindu untuk bisa intropeksi diri penuh pengabdian dengan melaksanakan kewajibannya sebagai manusia, didalam usaha menemukan hakekat dirinya yang sejati.

Dengan memahami dan menghayati makna dari yajna akan memberi tutunan dan tatanan etika moral spiritual yang dijadikan landasan utama dalam melakoni dan menikmati hidup ini. Sri Krishna berkata pada sahabat pengembala ternaknya di tepi sungai suci yang tenang dan melayani dunia ini dengan setiap bagian dari kehidupannya, mereka menahan keganasan angin, cuaca, panas dan dingin. Mereka terus menerus memberi kita pelayanan tanpa menuntut suatu imbalan apapun, tidak ada binatang yang berteduh disana pergi dengan kekecewaan, dengan daun-daun, keteduhan, buah dan akar, kulit dan dahan-dahanan, kayu dan inti pohonnya semua memperlihatkan pelayanan berulang-ulang tanpa henti.

Untuk itulah umat Hindu dengan kelebihan dan kekurangannya mempunyai kewajiban berpegang teguh pada dharma, dalam menyelami lautan kasih dengan penuh pengabdian disetiap gerak nafas hidupnya.

Mengapa harus beryajna……………
Umat Hindu hendaknya menyadari di dunia ini bukan hanya ciptaan belaka, ia mempunyai tanggung jawab penuh sebagai mahluk Tuhan, sosial dan individual, maka dari itulah hendaknya umat Hindu beryajna dalam artian luas. Lakukanlah sebagai manusia dengan hati yang tulus iklas tanpa pamrih. Mengapa umat Hindu di dunia mempunyai kewajiban untuk beryajna. Gita bersabda bahwa : “Manusia tercipta berkat Yajna”. Dengan demikian Tuhan mengorbankan diri-Nya dalam proses menciptakan manusia, untuk itulah umat Hindu berkewajiban melaksanakan yajna sebagai wujud bhaktinya terhadap anugrah-Nya. Jika umat Hindu menyadari bahwa dirinya ada berkat ciptaan Tuhan, manusia tidak akan menyombongkan dirinya “Nyapa kadi aku” sebagai terlihat pada fenomena dunia sekarang ini. Tuhan kuasa atas dunia ini manusia kadang-kadang ingin menolaknya, tapi tidak bisa mengelak atas kuasa-Nya (Gita III.10).

Disamping itu pula hendaknya umat Hindu memutar cakra yajna seperti yang disebutkan dalam Bhagawadgita “dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirlah makanan dan dari yajna munculah hujan dan yajna lahir dari pekerjaan”. Cakra yajna inilah hendaknya diputar secara harmonis dalam suatu kesatuan. Apabila salah satunya saja putus dunia ini tidak dapat bekerja. Bagaikan rantai makanan antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan Cakra yajna ini harus berputar agar roda kehidupan berjalan tanpa adanya benturan-benturan, maka dari itulah umat Hindu hendaknya menyadari keberadaannya secara histolistik selalu saling berhubungan dan saling membutuhkan di dalam usahanya memerankan peranannya sebagai manusia di dunia ini (Gita III.14).

Tujuan Beryajna………
Yajna yang dilakukan oleh umat Hindu memiliki tujuan yang utama, didalamnya terkandung nilai-nilai universal untuk memenuhi tujuan yang sesuai dengan doktrin ”Mokshartam jagadhitaya ca iti dharma” dan “catur purusa artha”. Umat Hindu yang melakukan yajna akan terbebaskan dari ikatan dosa. Gita bersabda: “orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari yajna mereka itu akan terlepas dari segala dosa”. Beryajna juga untuk membebaskan diri dari ikatan hukum karma. Gita mengatakan agar melakukan pekerjaan didasari oleh yajna tanpa mengikatkan diri, dengan tulus iklas mereka akan terbebas dari ikatan hukum karma (Gita III.9,13).

Disamping itu pula beryajna untuk mencapai kelepasan yang merupakan akhir dari tujuan agama Hindu yaitu Moksa. Jadi beryajna merupakan jalan untuk mencapai Brahman yang merupakan suatu tujuan yang amat mulia dengan membebaskan diri dari ikatan-ikatan dunia. Mereka yang memakan makanan suci dari sisa-sisa yajna akan mencapai Brahman (Gita IV. 31, 32)

Yang menjadi tujuan yajna memberikan peluang bagi umat Hindu untuk selalu berjuang membenahi jalan hidupnya dengan perbuatan yang baik dalam usaha menolong diri dari penderitaan atau sengsara.

Lakukanlah kewajibanmu janganlah hasil dari pekerjaan itu menjadi alasanmu, jangan membiarkan dirimu untuk tidak melaksanakan sesuatu pekerjaan apapun.
Bekerjalah tanpa mengikatkan diri pada hasilnya terlebih dahulu (rame ing gawe sepi ing pamrih). Tuhan pasti telah memperhitungkan apa yang telah kita perbuat maka dari itu berbenahlah karena lahir jadi manusia sangatlah utama.

Bentuk Yajna…………..
Adapun bentuk yajna dalam Bhagawadgita :
A. Drawaya Yajna adalah Yajna dengan sarana benda-benda material dan kekayaannya.
B. Tapa Yajna adalah Yajna dengan melaksanakan tapa atau latihan batin.
C. Yoga Yajna adalah Yajna dengan melaksanakan yoga
D. Swadhaya Yajna adalah Yajna dengan mempelajari ajaran suci
E. Jnana Yajna adalah dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan

Panca yajna dalam Bhagawadgita ini hendaknya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan, yajna dengan materi dijadikan media bagi yang melaksanakan tapa dan yoga untuk selalu memfokuskan pikirannya dan melatihnya secara terus menerus yang disertai tuntunan ajaran suci, pengetahuan dan kebijaksanaan. Sehingga yajna secara menyeluruh terangkai dalam suatu sistem untuk dilaksanakan dalam kehidupan beragama Hindu.

Bentuk yajna dalam Bhagawadgita memberikan gambaran yang jelas bahwa yajna memiliki makna yang komperensif integral dalam pelaksanaannya sehingga mampu merampung berbagai aspek kehidupan manusia tanpa adanya benturan-benturan yang mempersulit hidup manusia. Bentuk yajna dalam Bhagawadgita mengakomodasi sejauh mana tingkat kemampuan seseorang dalam usaha pencapaian-Nya dengan tetap yang menjadi pondasinya adalah keyakinan dan ketulusikhlasan. Bentuk yajna ini memberiksn kesempatan untuk mengaflikasikan berbagai tingkat kemampuan umat Hindu tanpa memandang rendah bentuk yang lainnya.

Sifat Yajna………
Sifat yajna tergantung pada manusia yang melaksanakannya, dimana manusia itu sendiri mempunyai tiga sifat yang disebut Triguna (Sattwam, Rajas dan Tamas). Sesungguhnya ketiga sifat itu selalu ada pada diri manusia yang sudah tentunya mempunyai intensitas berbeda. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari suatu kreaktivitas yajna ketiga sifat ini bergerak menyesuaikan pada situasi dan kondisi tertentu sesuai dengan aturan, bekerja secara sinergis, saling mendukung.

Dalam Bhagawadgita secara jelas telah mengklasifikasikan yajna menjadi tiga yaitu ; Sattwika, Rajasika dan Tamasika. Dalam kondisi ini riil di masyarakat pemahaman sifat yajna ini masih kurang. Adapun sifat yajna dalam Bhagawadgita XVII 11-13 :
  1. Sattwika yajna yang dihaturkan sesuai dengan sastranya, tidak mengharapkan hasilnya, teguh, yakin dan percaya, sadar akan kewajiban beryajna.
  2. Rajasika yajna yaitu yajna yang dilaksanakan dengan mengharapkan hasilnya, memamerkan apa yang telah dimilikinya, penuh denga nafsu dan keinginan.
  3. Tamasika yajna yaitu yajna yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk sastra, tidak ada makanan yang dibagikan, tidak ada mantra, tidak ada syair yang dinyanyikan, tidak ada punia dan daksina yang diberikan, tidak dilandasi keyakinan dan kepercayaan.

Mantram Gayatri

Oleh : Drs K.M.Suhardana
Pedoman Sembahyang Umat Hindu

Dalam kaitan dengan Mantram Trisandhya adalah apa yang dinamakan Mantram Gayatri, salah satu bait dari keenam Mantram Trisandhya yang sangat disucikan oleh umat Hindu, yang merupakan Induk dari semua Mantram Weda yang sangat penting artinya bagi umat Hindu, karena dapat memberikan perlindungan, keselamatan, kegembiraan dan kebahagiaan. Bahkan berdasarkan penelitian ilmiah di India dan Amerika diketahui bahwa orang yang tekun mengucapkan Mantram Gayatri, menyebabkan butir-butir darah putih dan darah merahnya menjadi semakin segar dan bertambah jumlahnya, sehingga orang tersebut nampak semakin sehat, Mantram Gayatri dapat dipergunakan sebagai “ Japa “ untuk dibaca sebagai doa atau diulang-ulang berkali-kali secara khusuk dengan maksud untuk memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.

Mantram Gayatri sebagai Doa Universal

Mantram Gayatri dinyatakan juga sebagai induk dari semua Mantram Weda , juga dinyatakan sebagai doa universal yang tercantum dan diabadikan dalam Kitab Suci Weda , baik Kitab Reg Weda , Yajur Weda maupun Sama Weda , yang dapat dipergunakan untuk memohon kejernihan akal budhi agar tercipta kebenaran tanpa penyimpangan. Mantram Gayatri dianggap sebagai intisari dari seluruh Ajaran Weda, karena itu ada orang yang menyatakan bahwa sesungguhnya orang tidak perlu mengucapkan Mantram apapun selain Gayatri Mantram
Sebagai Ibu Weda atau induk dari semua Mantram Weda, Gayatri mempunyai 3 (tiga) nama yaitu Gayatri, Savitri dan Saraswati dan ketiganya ada dalam diri setiap manusia, Gayatri berarti penguasa Indra, Savitri penguasa daya hidup atau prana dan kebenaran serta Saraswati berarti kemampuan untuk berbicara dengan baik, sehingga Mantram Gayatri meresapi segala sesuatu diseluruh alam semesta.

Mantram Gayatri terdiri dari 3 (tiga) bagian berupa pujian, meditasi dan doa :

  • Om Bhur Bhuvah Svah Tat Savitur Varenyam, merupakan pujian dengan menunjukan sifat-sifat keagungan Tuhan.
  • Dhimahi, berkaitan dengan meditasi ( perenungan dengan khidmat )
  • Dhiyo Yo Nah Pracodayat, adalah doa agar diberikan kekuatan dan kemampuan ( meningkatkan akal budhi / kebijakan / kecerdasan ).

Mantram Gayatri dikatakan juga oleh para akhli mengandung 4 (empat) kebenaran yang tertera dalam Weda;

  • Kesadaran sejati adalah Brahman ( Pranjnanam Brahma )
  • Aku adalah Brahman ( Aham Brahma Asmi )
  • Engkau adalah itu ( Tat Tvam Asi )
  • Diri sejati ini adalah Brahman ( Ayam Atma Brahma )

Para Akhli Agama juga menjelaskan bahwa Mantram Gayatri diciptakan sebagai mata ketiga ( Cakra Ajna ) untuk dapat mengungkapkan pandangan batin kita, kita menyadari adanya Brahman. Gayatri dinyatakan sebagai Anna Purna atau sebagai Tuhan Ibu Jagat Raya yang menjiwai semua kehidupan dan dapat dilukiskan dengan 5 ( lima ) wajah ;

  1. Om, adalah wajah yang pertama ( sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa )
  2. Bhur Bhuvah Svaha, adalah wajah yang kedua ( sebagai Penguasa alam fisik , alam astral dan alam surga )
  3. Tat Savitur Varenyam, adalah wajah yang ketiga ( sebagai Sumber segalanya yang patut disembah )
  4. Bhargo Dewvasya Dhimahi, adalah wajah yang keempat ( sebagai Pemeberi berkat dan berkah )
  5. Dhiyo Yo Nah Pracodayat, adalah wajah yang kelima ( sebagai Pemberi penerangan akal budhi )

Manfaat Mantram Gayatri

Para akhli Agama menyatakan bahwa pelantunan Mantram Gayatri secara berulang-ulang akan dapat mengembangkan kemampuan akal budhi seseorang. Mantran Gayatri jika diucapkan dengan penuh keyakinan, mempunyai kekuatan dan vibrasi yang sangat ampuh dan dapat melindungi orang yang mengucapkan, seperti halnya Rsi Visvamitra mampu mempergunakan berbagai senjata langka sesuai kehendaknya , menurut beberapa buku Agama Hindu, Mantram Gayatri yang sangat ampuh ini ditemukan oleh Rsi Visvamitra.

Dinyatakan pula bahwa jika diucapkan secara teratur dengan penuh keyakinan , kesadaran dan kasih sayang terhadap Tuhan, Mantram Gayatri akan memberi faedah ; dapat membebaskan diri dari segala penyakit, mencegah segala kesengsaraan dan kesulitan dan mengabulkan semua permohonan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Mantram Gayatri dinyatakan dapat melindungi kita dalam kegiatan-kegiatan seperti ; Dalam perjalan dengan Bus atau Mobil , Kereta Api , Pesawat terbang atau dimana saja kita berada .

Kapan dan Bagaimana Mantram Gayatri sebaiknya diucapkan

Mantram Gayatri sebaiknya diucapkan pada waktu subuh , tengah hari dan senja hari saat “Sandhya Kalam” yaitu pertemuan antara waktu malam dan pagi , pagi dan sore , serta sore dan malam hari, waktu mana sangat berguna untuk latihan rohani , meskipun demikian waktu-waktu tersebut sebenarnya tidak mengikat dan karena itu dapat diucapkan kapan saja dan dimana saja.

Mantram Gayatri baik juga diucapkan pada waktu mandi, sambil membersihkan badan kita sekaligus juga dapat membersihkan pikiran dan akal budhi kita, disamping itu disarankan untuk mengucapkan Mantram Gayatri pada waktu-waktu ; sebelum makan, pada waktu bangun tidur dan pada waktu akan tidur. Mantram Gayatri itu merupakan harta yang sangat berharga, karena itu harus dijaga dan dilantunkan secara benar dan tepat, seseorang boleh mengesampingkan mantram-mantram lainnya, tetapi jangan sampai menghentikan Mantram Gayatri.

Mantram Gayatri hendaknya diucapkan sesering mungkin, sebaiknya diucapkan 108 kali ( satu japa mala ) setiap pagi, untuk latihan rohani adalah baik untuk mengucapkan tiga atau lima japa mala setiap pagi dan sore hari. Menurut Swami Sivananda Saraswati , Mantram Gayatri harus diucapkan sekurang-kurangnya satu japa mala ( 108 kali ) tanpa henti setiap hari .


Sikap Badan dalam mengucapkan Mantram Gayatri

Dalam menyampaikan Mantram Gayatri, sikap badan kita hendaknya diatur sebagai berikut :

  1. Duduklah dengan tenang ( Padmasana , Bajrasana ) menghadap ke timur atau ke utara atau dalam sikap apa saja yang cocok bagi seseorang .
  2. Hindarkan gerakan yang tidak perlu dan bersikaplah seperti akan melaksanakan , Meditasi .
  3. Punggung , leher dan kepala agar tegak lurus ( jangan menunduk )
  4. Jangan merasa takut dan duduklah dengan tekad untuk menyadari kebenaran sejati .

Caru

Oleh : Dra.Made Sri Arwati
Dalam Upada Sastra


Pengertian Caru :
Caru, adalah nama jenis upakara, banten atau sesajen yang dipergunakan dalam upacara bhuta yadnya , caru ini mempunyai tingkatan lebih tinggi dari yadnya sesa atau segehan . Kata Caru berarti Enak, Manis, Sangat menarik, bila dihayati secara mendalam dari pengertian kata Enak, Manis, Sangat menarik itu, terkandung kata harmonis, serasi atau seimbang yang dalam bahasa Bali disebut “pangus atau adung”sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa caru atau bhuta yadnya itu adalah yadnya dari manusia untuk mewujudkan keharmonisan di alam semesta, yaitu antara bhuwana alit dengan bhuana agung.

Bhuta Yadnya adalah salah satu bagian dari Panca Yadnya, Bhuta adalah kata sansekerta yang berasal dari kata “Bhu” artinya menjadi, ada, makhluk atau wujud. Kata bhuta merupakan bentuk pasif participle dari kata “bhu” yang berarti telah diwujudkan, demikian selanjutnya dari kata “bhu” lalu menjadi “bhuwana” atau “bhumi” yang berarti alam atau jagat maka dari pengertian ini bhuta berarti unsur-unsur yang menjadikan alam semesta ini, yang terdiri dari unsur-unsur panca maha bhuta; pratiwi, apah, teja, wahyu dan akasa, semula unsur-unsur ini menurut ajaran filsafat Hindu Samkhya , berasal dari Prakerti yang merupakan sebab atau sumber utama semua obyek pisik termasuk pikiran , benda-benda dan kehidupan.

Kata bhuta juga berarti gelap atau kegelapan, yaitu gelap hati karena tidak melihat akibat salah satu unsure panca indra dalam tubuh tidak berpungsi. Secara filosofis, bhuta adalah sesuatu kekuatan negatif yang timbul dari adanya ketidak harmonisan antara unsur-unsur panca maha bhuta, ketidak harmonisan ini menimbulkan kekeruhan suasana, baik itu terjadi di bhuwana agung (alam semesta) maupun di bhuwana alit (tubuh manusia), apabila unsure-unsur panca maha bhuta itu harmonis akan menimbulkan kekuatan positif. Sebaliknya apabila tidak harmonis menimbulkan kekuatan negative yang mengganggu ketentraman hidup manusia, dan oleh manusia dipersonifikasikan sebagai makhluk halus yang mengerikan, untuk menetralisir perlu keharmonisan itu dijaga dengan mengadakan kurban suci berupa bhuta yadnya .

Secara paedagogis (pendidikan), bhuta yadnya bermakna mendidik para umat Hindu untuk tetap cinta terhadap alam, baik itu bhuwana agung maupun bhuwana alit, karena pada hakikatnya semua itu merupakan ciptaan Hyang Widhi Wasa, melalui bhuta yadnya memberikan tuntunan agar umat Hindu senantiasa berorientasi kepada alam, agar dapat mengambil sesuatu manfaatnya, karena alam merupakan sumber kehidupan manusia , yaitu manusia hidup di alam dan dari alam

Alam merupakan subyek dan obyek bagi kelangsungan hidup manusia, maka alam patut dijaga dan dipelihara keharmonisannya secara lahir dan batin dengan beryadnya melalui suatu upacara, yang bermakna sebagai perwujudan dan pencetusan rasa terima kasihnya manusia sebagai makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa, yang berkewajiban untuk mengatur dan memelihara kelestarian ala mini agar tetap lestari sepanjang masa.

Kehidupan dan manusia tak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya, karena merupakan saling ketergantungan. Seperti dinyatakan dalam Pustaka Suci Bhagawadgita III tentang pentingnya yadnya pada sloka 10 (sepuluh) yang artinya sebagai berikut ; Pada zaman dahulu kala Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda “ Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu “

Menghayati dan menyimak arti sloka tersebut diatas, maka manusia sebagai makhluk ciptaan Hyang Widhi Wasa yang paling tinggi tingkatannya dan utama keberadaannya, sudah sepatutnya melatih diri dalam hidup bersama dan saling ketergantungan di bhuwana agung ini untuk bersama sama berusaha mewujudkan keharmonisan atau saling bantu membantu antara yang meminta dengan yang memberi, dan oleh manusia dipersembahkan dengan banten caru yang juga lazim disebut dengan kata tawur artinya bayar kembali.

Sarana tawur adalah terdiri atas apa yang disukai atau di cintai, agar dapat terwujud secara harmonis atau seimbang, sesuai dengan tuntunan pustaka suci Bhagawad Gita III sloka 11 (sebelas) artinya sebagai berikut; “Dengan ini kamu memelihara para dewa dan dengan ini pula para dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi ".

Bila disimak secara mendalam uraian – uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan mengenai pengertian dari caru atau tawur itu sebagai berikut :
  1. Berpangkal dari penciptaan dunia dengan segala isinya yang ada di muka bumi ini oleh Hyang Whidi Wasa dengan yadnya, kemudian dinikmati oleh manusia untuk sarana kehidupannya , maka manusia patut merasa berhutang budi kehadapan Hyang Whidi Wasa, dan hal itu patut dibayar pula melalui yadnya.
  2. Yadnya merupakan tuntunan kepada manusia untuk mengendalikan hawa nafsu melalui ikhlas berkorban dalam menciptakan terjadinya keseimbangan di antara dua kekuatan (rwabhineda) antara positif dan negativ melalui caru atau tawur.
  3. Kedua kekuatan itu akan menguji kemampuan manusia dalam kehidupannya , maka sebagai manusia atau makhluk yang paling utama dan sempurna keadaannya serta berperan sebagai subyek dan obyek di bumi ini, patut selalu memelihara dan menjaga keharmonisan alam itu secara lahir dan batin.

Mitologi Caru

Seperti telah diungkap oleh beberapa pustaka suci yang merupakan warisan budaya leluhur dalam beberapa rontal antara lain “ Purwa Bumi Kamulan “, menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh Hyang widhi Wasa itu , berpangkal dari dua hal yang pokok , yaitu benda dan energi (kekuatan) dilukiskan dalam bentuk Bhatari Uma (Durgha) dalam lambang Pradana dan Panca Korsika, yaitu lima bersaudara yang terdiri atas Korsika, Garga, Metri, Kurusya dan Pretenjala sebagai lambang Purusha yang merupakan sumber dari kehidupan dan energi itu.

Diantara keenam ciptaan Hyang Widhi Wasa itu, Bhatari Uma dan Pretenjala (Siwa) yang merupakan sumber penciptaan isi alam semesta ini , ciptaan-ciptaannya itu ada yang baik dan ada yang buruk disebut rwabhineda , yaitu dua yang berbeda , yang baik bersifat ke alam dewataan (dewa-dewa) dan yang buruk bersifat bhuta kala .

Setelah yang baik-baik diciptakan , maka kemudian Bhatari Uma berubah rupa menjadi Bhatari Durgha dan Bhatara Siwa juga berubah rupa menjadi Bhatara Kala, lalu bersama-sama menciptakan segala jenis bhuta kala dengan segala penyakit serta godaan-godaan yang ditimbulkan, sehingga di alam semesta ini terjadilah ketidak harmonisan, yang paling dahulu mengganggu ketentraman hidup manusia sebagai ciptaan Hyang Widhi Wasa yang paling sempurna dan utama itu, agar berusaha mengatasi godaan bhuta kala itu dengan menyelamatkan semuanya, karena manusia tak akan mampu untuk hidup sendiri.

Mengenai kekuatan-kekuatan bhuta kala ini , kalau dikonkritkan dapat dilihat dalam kehidupan yang nyata berupa gempa bumi, banjir, angin topan, halilintar dan lain sejenisnya, yang kalau diselusuri dengan baik semua itu terjadi akibat dari keserakahan dan kelalaian ulah perbuatan manusia itu sendiri, yang ingin mengambil dan menikmati seluruh isi alam ini dengan seenaknya saja, tanpa memperhitungkan dan mempertimbangkan untuk penjagaan dan pemeliharaan keseimbangan atau keharmonisan itu.

Selain dari sumber rontal tersebut diatas, juga ada yang menguraikan tentang penciptaan alam semesta beserta isinya oleh dua kekuatan seperti terurai di depan yang termuat pada pustaka rontal “Purwa Bumi Tua” dan “Purwa Bhumi”, yang pada dasarnya tidak berbeda dari filsafat (tattwa) Samkhya dan Wedanta, hanya saja di dalam rontal-rontal tentang penggambaran dari kekuatan-kekuatan itu dilukiskan dalam wujud sebagai manusia atau makhluk, yang dipakai oleh penterjemah atau pengawi agar lebih mudah dapat dipahami oleh manusia untuk mempedomi , menghayati dan mengamalkannya.

Diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta di bumi ini yang mengganggu ketentraman hidup yang lainnya akibat dari godaan-godaan bhuta kala itu, Hyang Widhi Wasa juga telah menurunkan Hyang Tri Murti, yaitu Korsika sebagai Dewa Iswara, Gargha sebagai Dewa Brahma dan Kurusya sebagai Dewa Wisnu untuk membantu manusia agar bisa selamat dari godaan-godaan para bhuta kala itu, Bhatara Iswara menuntun dan mengajarkan manusia membuat sesajen-sesajen untuk “penyucian”(menetralisir) pengaruh-pengaruh bhuta kala, sehingga mulailah timbul banten “Caru”.

Hyang Tri Murti beliau berubah rupa menjadi Pendeta yang mengajarkan dan mengantarkan permohonan manusia untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan menuju pada keharmonisan antara lahir dan batin, dalam pengamalannya beliau bersama-sama dengan manusia menyucikan alam semesta ini dari gangguan Bhatari Durgha dan Bhatara Kala serta para bhuta kala yang lainnya , melalui penyelenggaraan upacara bhuta yadnya.

Bhatara Kala dalam rontal “Purwaka Bhumi” dilukiskan sebagai Yamaraja merupakan lukisan dari kekuatan Bhatara Siwa sendiri sebagai sumber kekuatan alam semesta dengan rupa sangat menakutkan, dengan demikian Bhatara Siwa sama dengan Bhatara Kala dan sama dengan Yamadiraja didalam banten caru, Bhatari Durgha dilambangkan dengan “babangkit” dan gaya utuhnya, oleh sebab itu maka banten caru itu ditujukan kepada Bhatara Kala dan Bhatari Durgha sebagai simbolis dari kekuatan alam semesta ini.

Upacara merupakan suatu rangkaian kegiatan manusia untuk berhubungan atau mendekatkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa, karena Hyang Widhi Wasa diyakini adalah merupakan asal dan tujuan akhir dari pada kehidupan manusia, upacara adalah bentuk riil dari pelaksanaan-pelaksanaan agama yang berupa aktivitas-aktivitas, dan semua agama di dunia ini mempunyai upacara-upacara, karena upacara sebagai bukti bahwa agama yang dianutnya itu adalah hidup dan dianut oleh umatnya sebagai perwujudan rasa bakti dari karunia atau suweca-Nya Hyang Widhi Wasa terhadap umat pendukungnya.

Asal Caru

Banten Caru atau Tawur dalam upacara bhuta yadnya ditujukan ke hadapan Bhatari Durgha dan Bhatara Kala (Siwa), dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa dikenal sebagai pusat atau sumber kekuatan dewa-dewa, perpaduan antara Bhatari Durgha dengan Bhatara Kala dalam kehidupan ini, dapat diibaratkan sebagai alam semesta dengan kekuatan – kekuatan alam dalam bhuwana agung, atau tubuh dengan jiwa dalam makhluk hidup (manusia atau bhuwana alit), oleh sebab itu, maka hanya Bhatara Kala sajalah yang bisa mengatur kekuatan-kekuatan beliau sendiri agar saktinya (Bhatari Durgha) itu tidak membahayakan manusia .

Secara ilmiah, benda-benda di dunia ini tidak akan membahayakan atau menguntungkan bagi manusia sebelum benda itu mempunyai kekuatan, kekuatan-kekuatan inilah kemudian yang dilukiskan dalam wujud Bhatara Kala (Siwa) sehingga manusia menjadi tergoda pikirannya untuk berbuat lebih banyak meminta dan memakai dan sedikit memberikan kepada alam sekitarnya sehingga timbulah ketidak harmonisan itu.

Agar kekuatan suatu benda dapat harmonis , maka perlu diatur kekuatan yang berlebihan yang terdapat pada suatu benda hendaknya dikurangi dan pada kekuatan yang kurang patut ditambahi, melalui upacara yadnya (kurban suci) yang diwujudkan dengan banten caru (tawur), pada waktu Bhatari Durgha menciptakan bhuta kala bertempat di perempatan jalan (catus pata).

Dalam banten caru yang memegang peranan penting adalah simbol dan warna , sebab itu dalam segala jenis dan kurban caru diusahakan memenuhi lima warna sesuai dengan warna pengider-ideran bhuwana, putih =timur, barak /merah = selatan, kuning = barat, hitam / selem = utara dan brumbun = tengah, selain jenis warna, yang diutamakan juga dalam banten caru sangat tergantung pada jenis kurban yang dipakai, bila dihayati secara mendalam dalam meneliti banten caru itu, rupanya mengambil sumber dari Itihasa Mahabharata antara lain :

Ceritra Sudamala, dalam ceritra ini dilukiskan bahwa Sahadewa puteranya Dewi Kunti dipersembahkan ke hadapan Dewi Durgha untuk dijadikan kurban penyupatan (penyucian) Panca Korsika, begitupula dengan ceritra “gugurnya Duryadana ,, saat Duryadana berada dalam keadaan luka-luka hingga tak dapat berjalan, akibat pahanya yang patah dipukul oleh Bima , Bhagawan Krepa dan Aswatama sangat kasihan melihat Duryadana dalam keadaan seperti itu , dan baru akan bisa gugur jika sudah mendapatkan kurban berupa lima buah kepala dari Panca Kumara, yaitu lima orang anak dari Panca Pandawa .Itulah sebabnya kemudian Sang Aswatama berusaha mencarikan lima kepala Panca Kumara dengan membunuhnya saat sedang tidur dan kebetulan sedang ditinggalkan pergi oleh orang tuanya Sang Panca Pandawa.

Bila dihayati secara mendalam, rupanya ceritra gugurnya Duryadana ini merupakan asal dari Caru Pancasata, sebab itu dipakai lima orang putera-putera Panca Pandawa , bila disimak secara mendalam dari penghayatan itu, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang sepatutnya menjadi kurban itu adalah anaknya manusia, tetapi karena caru itu kemudian dikorbankan oleh manusia , rupanya kurban caru itu bisa diganti dengan binatang .

Jadi dalam sarana upakara / banten caru itu korbannya diganti dengan binatang , dan untuk membuktikan bahwa semestinya kurban caru itu adalah manusia, dengan dipergunakannya sarana "sengkwi wong-wongan", yaitu berupa anyam-anyaman dari daun kelapa sebagai gambaran dari kerangka manusia yang dipergunakan sebagai alas / dasar banten pada binatang kurban yang dipakai caru, binatang yang dijadikan kurban tidak boleh sembarangan, adalah binatang-binatang piaraan, yang sudah menjadi anggota keluarga dari manusia dalam hidupnya, sehingga sudah dihinggapi dengan rasa kasih sayangnya, kurban ini selain berdasarkan kasih sayang, juga sebagai tanda bukti kesungguhan hati manusia untuk berkorban atau beryadnya dan pada umumnya yang dipakai adalah yang masih tergolong muda (sedang disayangi oleh pemiliknya serta belum ternoda).

Padmasana

Dari Buku : Kosala Kosali & Asta Bhumi
Oleh : Tjok Rai Sudharta


I. Berdasarkan lokasi kardinal, selaras dengan arah konsep pangider-ideran, Padmasana ada 9 (sembilan ) macam :

  1. PADMA KANCANA : Berlokasi di Timur , menghadap ke Barat
  2. PADMASANA : Berlokasi di Selatan , menghadap ke Utara
  3. PADMASANA SARI : Berlokasi di Barat , menghadap ke Timur
  4. PADMASANA LINGGA : Berlokasi di Utara , menghadap ke Selatan
  5. PADMA ASTA SEDANA : Berlokasi di Tenggara , menghadap ke Barat Laut
  6. PADMA NOJA : Berlokasi di Barat Daya , menghadap ke Timur Laut
  7. PADMA KORA : Berlikasi di Barat Laut , menghadap ke Tenggara
  8. PADMA SAJI : Berlokasi di Timur Laut , menghadap ke Barat Daya
  9. PADMA KURUNG : Berlokasi di Tengah-tengah , merong Tiga , pada puncaknya menghadap ke pintu keluar.

II . Berdasarkan Rong ( ruang ) papalihan ( tingkatan ) , bentuk dan jenis PADMA dibedakan :

  1. PADMA ANGLAYANG : Marong Tiga , Tujuh Tingkat , dasarnya memakai Badawang nala yang dibelit oleh Naga.
  2. PADMA AGUNG : Marong Kalih , Lima Tingkat , dasarnya memakai Badawang nala yang dibelit oleh Naga.
  3. PADMASANA : Marong Siki , Lima Tingkat , dasarnya memakai Badawang nala yang dibelit oleh Naga.
  4. PADMASARI : Marong Siki , Tiga Tingkat , tidak memakai Badawang nala dan Naga.
  5. PADMA CAPAH : Marong Siki , Dua Tingkat , tidak memakai Badawang nala dan Naga.

Suksme.

Lahirnya Betara Kala

Sumber Cerita diambil dari : "Lontar Tatwa Kala"
Pada Suatu hari ketika Betara Siwa sedang jalan-jalan dipinggir pantai, melihat Dewi Uma pakianya bagian bawah diembus angin yg kencang, Angin itu dibuat oleh Batara Baruna penguasa laut, Akibat dari angin yg kencang menyebabkan bagian sensitif kelihatan samar-samar mengundang birahi / nafsu Betara Siwa Tri Netra, lantas Batara Siwa mengeluarkan ilmu agar Dewi Uma mau melakukan patemon layak sensor, namun Dewi Uma menolak, karena prilaku yang demikian tidak sesuai dengan prilaku dewi –dewi di Kahyangan, akibat tidak dapat menahan nafsu akhirnya air mani ( kama ) meleleh menetes sampai kelaut.

Kemudian dijumpai oleh Batara Brahma & Wisnu lalu dibinanya dan dirawatnya terus dipuja dgn "JAPA MANTRA" Kemudian benih itu lahir menjadi Raksasa yg hebat dan terus menggeram – geram menanyakan siapa ayah dan siapa ibunya, kemudin oleh Batara Barahma & Wisnu diberitahu sil-silahnya, Ayahnya bernama Batara Siwa dan Ibunya Dewi Uma, dan tinggal di Siwa Loka, lalu Raksasa itu pergi ke Siwa Loka menghadap Batara Siwa dan Dewi Uma, dan meminta agar diakui sebagai putranya dan memohon Wara Nugraha, apa yang pantas dimakannya, sebelum diakui sebagai putranya dan dianugrahi Betara siwa meminta taring yg panjang itu dipotong terlebih dahulu, agar dapat melihat wajah ayah dan ibunya yg seutuhnya.

Petunjuk Batara Siwa diikuti oleh Raksasa itu, setelah taring dipotong barulah Raksasa itu dapat melihat wujud Batara Siwa dan Uma seutuhnya, sejak itulah Raksasa diberi gelar “Batara Kala” dan tidak ada kesaktian yg dapat mengalanginya dan Batara Kala diberi anugerah boleh memakan orang yg lahir di Tumpek Wayang, tujuannya anugerah itu untuk memperingati hari lahirnya Batara Kala sendiri.
Kebetulan Batara Rare Kumara adalah putra Batara Siwa hasil perkawinan dgn Dewi Uma yang sama-sama lahir di Tumpek Wayang, karena lahirnya disamai oleh adiknya sendiri, Batara Kala jadi sangat marah, sesuai dengan anugerah Batara Siwa kepadanya, Batara Kala memohon untuk memakan adiknya Batara Rare Kumara.

Tetapi Batara Siwa masih menangguhkan, karena adiknya masih kecil, kelak sudah besar baru boleh dimakan, hampir setiap hari Batara Kala memohon agar Batara Rare Kumara cepat besar untuk bisa dimakan, namun Batara Siwa pintar dipastu agar Batara Rare Kumara tetap menjadi anak-anak ( Rare ) agar tidak bisa dimakan oleh Batara Kala, tetapi tipu muslihat Batara Siwa diketahui oleh Batara Kala , kemudian Batara Kala emosi , dengan sikap yg arogansi Batara Rare Kumara dikejarnya mau dimakan, tatkala itu dilihat oleh Batara Siwa pada waktu Tumpek wayang, lantas Batara Siwa berkata: "Hai anakku jangankan adikmu orang tuamu boleh kau makan asalkan kau bisa menjawab pertanyaan orang tuamu", karena pertanyan terlalu banyak sehingga kehabisan waktu dan sudah sore, sehingga Batara Kala tidak bisa memakan adiknya, ayahnya serta ibunya karena waktu sudah lewat (sore).

Batara Kala tambah marah merasa dibohongi kemudian adiknya Rare Kumara dikejar mau dimakan, dalam pengejaran batara rare selalu dapat lolos, akhirnya Batara Rare Kumara bersembunyi dibawah gender wayang yang sedang ditabuh oleh juru gender untuk mengiringi Ki Dalang ngewayang, pada saat itu Batara Kala datang juga disana dalam keadaan tergesa-gesa serta disertai kehausan dan lapar, banten yang ada di tempat ngewayang dimakan oleh Batara Kala, dilihat oleh Ki Dalang, terjadilah dialog dgn dalang disuruh ganti rugi namun Batara Kala menolak, biar tidak terjadi openi berkepanjangan, yg mana bisa meruncing masalah maka Batara Kala memberi anugerah kepada Ki Dalang untuk melakukan, melaksanakan pengelukatan Wayang Sapu Leger bagi anak yg lahir di Tumpek Wayang.

Oleh karena itu jika Putra / Putri yg lahir di Tumpek Wayang wenang mebasuh /melukat dgn tirta Wayang Sapu leger jika tidak dibayuh atau ditebus anaknya nanti ambeknya gede. katanya.

Setiap Langkah adalah Anugerah

Seorang professor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Di sana , ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, Ralph, penjemputnya di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju tempat pengambilan bagasi. Ketika berjalan keluar, Ralph sering menghilang. Banyak hal dilakukannya.

Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka, kemudian mengangkat dua anak kecil agar mereka dapat melihat sinterklas. Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Setiap kali, ia kembali ke sisi sang professor dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Dari mana Anda belajar melakukan semua hal itu ? tanya sang professor. Melakukan apa ? tanya Ralph. Dari mana Anda belajar untuk hidup seperti itu ? desak sang professor. Oh, kata Ralph, selama perang saya kira, perang telah mengajari saya banyak hal.

Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan satu per satu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.

Saya belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah. katanya saya tidak pernah tahu, apakah langkah berikutnya adalah pijakan terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki serta mensyukuri langkah sebelumnya.

Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini. Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang bermakna bagi orang lain.

Nilai manusia tidak ditentukan dengan bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup. Kekayaan manusia bukan berapa banyak yang bisa ia peroleh dan ia miliki, melainkan berapa banyak yang bisa ia berikan bagi orang lain. Selamat menikmati setiap langkah hidup Anda dan BERSYUKURLAH SETIAP SAAT. Banyak orang berpikir bagaimana mengubah dunia ini. Hanya sedikit yang memikirkan bagaimana mengubah dirinya sendiri.

dari berbagai sumber.

Tuesday, April 7, 2009

Tirthayatra, Perjalanan Suci Atau Wisata ?

Dikutip dari : Konsep Siwa Budha di Bali
Penulis : Pinandita Arbawa Tanjung Mas
Editor : Drs I Made Karda, M.Si

Tirthayatra berasal dari kata “tirtha” dan “yatra”, Tirtha berasal dari akar kata “tr” yang berarti “triyate anena” atau dengan mana disebrangkan , dengan mana orang disebrangkan dari lautan dosa . Tirtha juga berarti air suci , air kehidupan atau nectar, juga berarti tempat-tempat suci yang ada air sucinya, disamping itu tirtha juga berati atau memiliki makna sebagai orang-orang suci, karena umumnya orang-orang suci berada ditempat-tempat suci yang ada airnya. Misalnya di dekat sungai Gangga, Yamuna, Godavari, Narmada, Kaveri dan sebagainya, kemudian orang-orang suci juga disebut “tirtha” karena mereka ini diyakini mampu menyucikan diri, sebagaimana karunia yang ditunjukan oleh tempat-tempat suci dan air .
Sedangkan kata “Yatra” suatu perjalanan, dengan demikian dari ilmu bahasa (bedah membedah kata ) ini, tirthayatra sesungguhnya bermakna sebagai suatu perjalanan suci atau perjalanan ke tempat-tempat suci, mengunjungi tempat-tempat suci dan perjalanan untuk menyucikan diri dari pengaruh dosa. Dulu, agama Hindu atau Dharma Hindu, sebelum resmi dipakai, beredar istilah Agama Tirtha, konsep Agama Hindu adalah dari kata “Sindhu” yang artinya “air” atau “amertha”. Oleh karenanya disebut juga agama Tirtha.

Adapun yang melatar belakangi agama Tirtha ini lahir karena kita lahir dari yang maha suci, yaitu lahir dari “Tirtha Purusa”, adapun tirtha purusa ini sering disebut “Panca Tirtha” yang terdiri dari lima macam tirtha yang meliputi :
  • “Tirtha Pradana” ; yaitu tirtha Kamandalu , istilahnya Purusa – Pradana, atau Akasa – Pratiwi , inilah tirtha yang pertama kali yang menyebabkan manusia itu ada .
  • “Tirtha Sanjiwangi” ; yaitu tirtha yang menghidupkan manusia semasuh berada di kandungan .
  • “Tirtha Pawitra” ; yaitu air tuban yang membersihkan si jabang bayi .
  • “Tirtha Kundalini” ; yaitu tirtha kehidupan , kalau di Merajan / Sanggah letaknya di “Bethara Hyang”
  • “Tirtha Maha Tirtha” ; tirtha ini sering disebut sebagai “Wangsuh pada” dari Ida Bethara .
Putaran tirtha yang pertama sampai yang kelima, namanya “ Ngewindu”, Jadi agama Hindu berasal dari kata Sindhu (nama sungai di India), kemudian menjadi Amertha (yang artinya air), lalu menjadi Windhu, dan terakhir berubah menjadi Hindu, yang artinya amertha kehidupan dan kematian.

Segala upacara kehidupan dan kematian menurut Hindu harus melalui lima tirtha tersebut diatas, jadi siklus agama Hindu pernuh dengan upacara tirtha dari : Tirtha Kamandalu – Tirtha Sanjiwangi – Tirtha Pawitra – Tirtha Kundalini – Tirtha Maha Tirtha, kembali ke Tirtha Kamandalu, begitu seterusnya .

Istilah Tirtha yatra, yang berarti mengunjungi tempat-tempat suci, karena keberangkatan mereka memang untuk meningkatkan kesuciannya, bukan untuk menyucikan pihak lain, ada istilah lain yang artinya sepadan dengan tirthayatra yaitu “Tirthatana” dan Tirthabhigamana” , kedua istilah ini bermakna sama dengan tirthayatra hanya kurang populer di Indonesia / Bali.

Dalam kitab suci Sarasamuscaya, bahwa perjalanan suci ketempat - tempat yang suci merupakan kegiatan yang amat suci (“Atyanta Pawitra”), tirthayatra dikatakan lebih utama “bila” dibandingkan dengan penyucian Panca Yadnya lainnya .

Adapun alasannya tiada lain karena kunjungan ketempat tempat suci dapat pula dilakukan oleh orang yang miskin harta, selanjutnya dalam Sarasamuscaya dijelaskan pula bahwa mereka yang tidak dapat melakukan tirthayatra sesungguhnya orang ini dapat dikatakan sangat miskin, demikian mulia manfaat tirthayatra itu, namun didalam pelaksanaannya kemudian muncul persoalan lain ,,,, Apakah itu ?

Persoalan baru muncul yaitu :
  • Dimanakah tempat suci yang layak dipakai tujuan tirthayatra ?
  • Apakah hanya terbatas pada Pura Kahyangan jagat saja ?
  • Apakah termasuk juga pada Pura Sad Kahyangan ?
  • Bagaimana dengan pura-pura dilingkungan Tri Kahyangan ?
  • Apakah disemua pura , semua tempat yang disucikan sebagai tempat yang layak menjadi tujuan tirthayatra ?

Menurut Reg Weda I.191.13 menyatakan :
Soma Rarandhino hrdhi gavana yavasena, marya eva sva okye
Artinya : “ Oh Tuhan Yang Maha Pengasih, semoga Engkau berkenan bersthana pada hati nurani hamba sebagai pura, seperti halnya anak-anak sapi yang merumput dipadang subur , seperti pula halnya gadis gadis dirumahnya sendiri .“

Perhatikan pula kitab suci Bhagawadgita IX.11 , yang berbunyi :
Avajayanti mam mudha , manusim tanum asritam , param bhavam ajananto, Mama bhuta mahesvaram
Artinya :
“ Aku berada dalam tubuh manusia , mereka yang bodoh tidak menghiraukan Aku , yang lebih tinggi sebagai penguasa agung dari segala yang ada. Bila diperhatikan mantra-mantra tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tempat yang suci itu berada dalam diri kita, Ia tidak usah dicari kemana mana ( “ Tan madoh rik awak ring hati tongwania “ )

Namun kita tidak boleh terburu buru memperbaiki orientasi logika agama, bahwa berkunjung ke tempat suci itu tidak perlu, cukup dengan mengetahui rahasia Tuhan ada di dalam diri, merasa sudah cukup . Janganlah menafsirkan mantra Weda sepotong-sepotong, Mantra Weda dan sloka-sloka kitab suci tak pernah salah , tetapi penafsirlah yang sering kepleset memaknai bunyi suatu Weda .

Mantra Weda adalah suatu puncak dari suatu kebenaran , ia bersifat muklak , sehingga perlu disadari bahwa untuk mencapai puncak itu butuh waktu dan proses yang bertahap ( ingatlah selalu bahwa arti dari “wyapi – wyapaka “, tidaklah berarti bahwa Tuhan itu selalu ada dimana-mana , namun saktinyalah , vibrasinyalah kita rasakan ada dimana-mana. Ibarat sinar matahari itu kita rasakan ada dimana-mana, namun Tuhan itu sendiri bukanlah matahari )

Kebenaran tentang adanya Tuhan dalam diri akan diyakini bila seseorang telah mencapai tingkat kesadaran diri yang tinggi , terlepas dari kesadaran badan ( kalau di Agama Budha telah mencapai tingkat Samadi yang ke delapan, sedangkan di Saolin telah mencapai tingkat yang kesepuluh – yaitu “Nirwana”- akhir dari perubahan, kedamaian dan ketenangan .itu sama dengan pembebasan dari ikatan keinginan, ego, penderitaan dan kelahiran kembali – kalau di Hindu dinamakan “Moksah” ( Muracintya) dan guna menumbuhkan tingkat kesadaran spiritual inilah orang-orang perlu melakukan berbagai sadhana , apakah dengan jalan: Bhakti Yoga , Jnana Yoga , Karma Yoga atau Raja Yoga.

Dari ke empat Catur Yoga tersebut yang merupakan disiplin spiritual menurut Hindu , salah satunya dapat dilaksanakan dengan “ Tirthayatra “ ini adalah salah satu proses dari sadhana atau disiplin spiritual Hindu .

Dalam memahami Tuhan ada dalam hati sanubari , jangan lupa kata-kata mutiaranya “ Trio Bimbo “ Engkau jauh , aku jauh “ , “ Engkau dekat , aku dekat “ . Tuhan yang berada dalam diri memang akan menjadi jauh , jika hakekat kesadaran diri belum terwujud , jadi tidaklah secara gegabah seseorang dapat mengklaim bahwa mereka sudah mengenal Tuhan yang berstana dalam dirinya tanpa bukti realisasi spiritual .

Meniti jalan kedalam haruslah dengan aktipitas luar , dan tirthayatra adalah jalan untuk meniti Tuhan didalam diri sendiri , ingat manusia itu adalah aspek mikrokosmos (Bhuana alit) Kesadaran spiritual diperoleh dengan mengadakan kontak dengan Bhuana agung .

Pencapaian spiritual kedalam membutuhkan beberapa persyaratan seperti kondisi mental , disiplin pikiran , mengendapkan aktivitas panca indra dan potensi lahiriah lainnya , utnuk mencapai kesucian pikiran itulah , dibutuhkan tempat yang suci , tempat yang bercitrakan keilahian , tempat-tempat yang suci tersebut yang dikunjungi kemudian akan menjadi semacam alat bantu bagi bangkitnya potensi spiritual di dalam diri .

Disini perjalanan jiwa membutuhkan partisipasi pisik , jadi tak serta merta karena Tuhan bersifat “ Sarwa khala idam Brahman “(semuanya adalah Tuhan) , kita tidak membutuhkan tempat suci , hal tersebut semata mata karena tingkat kesadaran kita saja yang masih terasa terpisah dengan Tuhan .

Manusia sebagai ciptaan Tuhan (Brahman) memang harus terpisah , menurut konsep “Dvaita” adalah konsep dualisme , adanya keterpisahan antara sang Pencipta (Brahman) dengan ciptaannya (manusia) , hanya mereka yang menganut konsep “Advaita” sudah mengalami fase kesadaran diri manunggal dengan kesadaran besar layak menyatakan aspek ke Tuhanan itu telah manunggal dengan dirinya ( Manunggaling Kawula Gusti ) .

Pesan (dari Jik Ngurah)
tisi yang menyatakan bahwa kalau metirthayatra , hendaknya diurut dari Bali , Indonesia , setelah itu baru ke luar negeri (India) , yang paling penting sebetulnya adalah bagaimana caranya agar tirthayatra itu dapat berfaedah secara effektif bagi tiap individu dengan semakin majunya kwalitas hidup kita setelah melakukan tirthayatra berulang kali .
Selama melakukan tirthayatra , orang dianjurkan sebisa bisanya untuk mengembangkan sifat-sifat yang agung dan mulia, semua ini dilakukan untuk memperoleh hasil yang optimal bagi tirthayatri , yaitu pelaku spiritual .

Usahakan selalu berkata dan berbicara yang baik, benar dan suci ( satya ) ,Ingat selalu bahwa kebenaranitu adalah tirtha (“Satyam Tirtham”), Sifat sifat memaafkan / pengampunan juga adalah tirtha (“Ksama Tirtham”), Penguasaan diri terhadap nafsu / indrya juga adalah tirtha (“Tirtham Indriyaningrahah”), disamping itu mencintai seluruh mahluk hidup adalah tirtha (“Sarwa bhuta daya tirtham”), Kesadaran juga adalah tirtha (“Tirtham arjvam eva ca”) .
Hal yang terpenting juga harus diingat adalah setiap melakukan tirthayatra hendaknya melakukan “dana punia” atau sedekah , karena kedermanan atau sedekah juga adalah tirtha , penguasa pikiran juga disebut tirtha , kepuasan diri juga adalah tirtha , pengekanagan nafsu birahi juga adalah tirtha , dan kata kata yang amnis dan penuh mengandung kebenaran adalah tirtha , dan yang terakhir tapa brata itu juga adalah tirtha.

Dengan demikian tirthayatra penuh dengan ketulusan rohani pensyaratan , aturan suci yang harus dipenuhi , dengan mengikuti aturan dan peraturan suci itu , pelaksanaan tirthayatra akan mampu menyucikan pikiran / bathinnya yang terdalam. Jadi Tirthayatra tidaklah sama dengan wisata , dia mempunyai tujuan yang suci yakni membersihkan pikiran dan bathin , agar menjadi suci dan dekat dengan Sang Pencipta .
Semoga berhasil.

Wednesday, April 1, 2009

Bangunan - Bangunan Kebesaran Hindu di Tanah Jawa

Berikut candi-candinya :



Candi Gunung Wukir th 732 M di Magelang, kondisi sudah rusak, terdapat beberapa Yoni sebagai landasan Lingga.






Candi Badut, Kanjuruhan Malang, dr Raja Gajayana 760 M untuk memuja Dewa Agastya.



Arca Dewa Agastya di Bali disebut Bhatara Guru








Kompleks Candi-candi di Pegunungan Dieng

Candi Prambanan Jaman pemerintahan Raffles







Candi Utama Prambanan (Candi Siwa) dibangun Oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya th 856 M





Candi-candi lainnya :
  • Candi Tri Shakti Dari kompleks candi Lorojonggrang
  • Cadi Gedong Songo th 927 M. lereng Gn Ungaran dari Wangsa Syailendra
  • Candi Penataran 1194, di lereng Gn Kelud Blitar, jaman Kediri, Oleh Raja Sringga. Candi Siwaistis.
  • Candi Kidal 1248 M, Malang tempat Anusapati dimuliakan. Menuju Siwa-Buddha-Loka, Ia dibunuh oleh Tohjaya.

Disamping ini adalah bagian atas pintu masuk candi kurung.
  • Candi Jago 1268 M, di Malang. Tempat Rangga Wuni dimuliakan dg abhiseka Sri Jaya Wisnuwardhana.
  • Candi Singhasari 1292 M, di Malang, tempat Raja Krtanagara dimuliakan tokoh Bhairawa. Ia berpulang ke Alam Siwa-Buddha. Pada th 1284 Krtanagara menaklukkan Bali.
  • Candi Bajang Ratu 1328, oleh Jayanegara, di Trowulan. Diperkirakan sbg pintu masuk / gapura Majapahit.
  • Candi Ceto dibangun pada Akhir jaman Majapahit abad ke-15
DEMIKIAN KEBESARAN HINDU DI TANAH JAWA

Tuesday, March 31, 2009

Istilah Hindu dan Sejarah Hindu di India

Bagian 1
Istilah ‘Hindu’ diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke India, seperti: Arab, Persia, Yunani. Yang dimaksud Hindu oleh mereka, adalah orang-orang yang mendiami daerah lembah sungai Sindhu, termasuk agama dan kebudayaan yang dianut. Istilah ‘Hindu’ untuk pertama kali secara resmi dipakai oleh raja-raja yang memerintah di Kerajaan Wijayanagar pada ke-15 M.

Orang-orang Hindu menyebut agamanya Waidika Dharma atau Agama Weda, karena berumber pada Weda. Agama Weda didasarkan pada sastra-sastra yang sangat banyak jumlah dan jenisnya; keseluruhan sastra-sastra itu disebut Weda (Pengetahuan Suci).

Weda diajarkan selasa lisan selama berabad-abad, disimpan secara rahasia dalam tradisi perguruan, dikomentari dan diinterpretasikan ajarannya oleh para Rsi-Rsi yang mempunyai otoritas melakukan penafsiran-penafsiran.
Berikut ini Sejarah Agama Hindu di India :
  1. Peradaban Lembah Sungai Sindhu (2.500 – 1.500 SM)
  2. Zaman Weda (1.500 – 800 SM)
  3. Zaman Brahmana (800 SM – 200 M)
  4. Zaman Purana (200 – 700 M)
  5. Zaman Pembaharuan (700 – 1.200 M)
  6. Zaman Gerakan Bhakti (1.200 – 1.800 M)
  7. Gerakan Hindu Modern (1.800 – Sekarang)
Berikut diuraikan sejarahnya :
PERADABAN LEMBAH SUNGAI SINDU(2.500 – 1.500 SM)
  • Ditemukan peninggalan purbakala di daerah lembah Sungai Sindhu di distrik Sind di daerah Mahenjodaro dan di distrik Punjab Barat di daerah Montgomery pada tahun 1921.
  • Ciri-ciri yang menonjol adalah adanya pemujaan kepada Mother Goddess (Dewi Ibu). Mereka percaya bahwa Mother Goddes atau kekuatan perempuan (Shakti) merupakan sumber dari semua ciptaan.
  • Mereka juga memuja Male God, dalam wujud Siwa sebagai Mahayogi dan Siwa Pasupati atau dewa penguasa binatang buas. Hal ini sesuai dengan atribut yang dikenakan seperti Trinetra (bermata tiga) dan Trisula.
  • Mereka juga memuja Siwa-Lingga. Wujud Lingga ini sampai sekarang dipuja.
  • Mereka percaya bahwa batu dan pohon didiami oleh roh halus baik yang jahat maupun baik (animisme)
  • Binatang seperti: lembu, harimau, Garuda juga dipuja.


ZAMAN WEDA (1.500 – 1.000 SM)

  • Peradaban Lembah Sungai Sindhu kemudian dilanjutkan oleh suku Bangsa Arya, yang memasuki India dari Barat-Laut, menetap di Lembah Sungai Sindhu dan Saraswati.
  • Sastra-Sastra yang tertua dari bangsa Arya, yaitu kitab suci Weda, tidak diketahui tarikh tahunnya.
  • Kata weda berasal dari urat kata wid, yang artinya ‘pengetahuan’ atau ‘mengetahui’.
  • Weda terdiri dari kitab Sruti dan Smrti.
  • Weda Sruti: Catur Weda, yaitu Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda,dan Atharwa Weda.
  • Weda Smrti, seperti: Ayur Weda, Dharma Weda, Dhanur Weda, dll
  • Zaman Weda umumnya dibagi menjadi 2 (dua) periode), yaitu:
    1. Zaman Weda Kuno
    2. Zaman Weda Baru
    3. Zaman Akhir Weda

ZAMAN WEDA KUNO (RIG WEDA)

  • Pada zaman ini orang-orang Arya memuja kekuatan dan manifestasi dari alam, misalnya: pemujaan Surya (langit), Indra (halilintar), Parjanya (awan), Wayu (angin), Marut (angin ribut), Agni (api) dll.
  • Konsep Ketuhanan mereka adalah henotheisme atau kathenotheisme. Meraka kemudian memanusiakan dan mewujudkannya sebagai Dewa. Jumlah dewa yang dipuja pada zaman ini sebanyak 33 dewa.
  • Waruna merupakan dewa yang paling mulia, pemimpin para dewa, maha tahu, penguasa alam semesta.
  • Indra adalah dewa yang paling banyak dipuja, hampir 25% nyanyian pujian pada Rig Weda dtujukan kepada Indra.
  • Agama Rig Weda tidak mengajarkan umat menyembah, membuat patung, membuat kuil tempat pemujaan. Mereka sembahyang di tempat terbuka.


ZAMAN WEDA BARU

  • Pada zaman ini dijumpai kitab: Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda, termasuk Wedanta, yang semuanya wahyu dari Tuhan, yang dikodifikasi oleh Bhagawan Abhyasa.
  • Pada zaman Sama Weda: mantra-mantra sloka dari Rig Weda mulai dinyanyikan pada upacara yajna. Nyanyian suci dikodifikasikan dalam bentuk kitab Sama Weda.
  • Pada zaman Yajur Weda, disusun cara-cara melakukan upacara yajna (kurban suci). Kedudukan Yajna pada zaman ini sangat penting. Yajna dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai moksa.
  • Selama upacara yajna berlangsung ketiga kitab suci (Trayi Weda), yakni: Riga, Sama, dan Yajur Weda harus dibawa dan dinyanyikan mantranya oleh Brahmana. Demikian juga pelaksanaan upcara harus sesuai dengan Yajur Weda.
  • Pada zaman Atharwa Weda, bangsa Arya menemukan mantra-mantra gaib untuk melawan ilmu sihir, penyakit, serta tata cara pemakaman jenazah.

ZAMAN BRAHMANA(800 – 300 SM)

  • Pada zaman ini pengkodifikasian kitab-kitab suci Weda sudah selesai. Para Rsi sudah tidak lagi mendapat wahyu lagu. Orang orang Arya sudah mulai menyebar ke arah Timur.
  • Pada zaman ini pula, Catur Weda mulai ditafsirkan oleh para Rsi. Tafsiran kitab-kitab Weda ini disebut kitab-kitab Brahmana.
  • Pembagian warna dalam arti kasta sudah mulai berkembang, tanah-tanah dikuasai oleh golongan bangsawan.
  • Upacara agama yang besar, megah, dan mahal berkembang, dilakukan oleh golongan aristokrat, akibatnya golongan Brahmana pun menjadi penting.
  • Zaman Brahmana, dibagi dalam 3 (tiga) zaman, yaitu:
    1. Zaman Kejayaan Hindu
    2. Zaman Kemunduran Hindu
    3. Zaman Kebangkitan Hindu.

ZAMAN KEJAYAAN HINDU(800 – 600 SM)

  • Spirit keagamaan mengalami perubahan, tidak ada lagi upacara2 kecil, melainkan upacara yajna besar dan rumit, sehingga golongan Brahmana memiliki kekuasaan dan mendapat perlakuan istimewa.
  • Upacara meliputi: mulai dari manusia dalam kandungan sampai meninggal, bahkan sampai yajna yang berhubungan dengan roh yang telah meninggal.
  • Upacara yang terbesar adalah Aswamedhayajna, korban kuda, memakai ratusan Brahmana, serta mengorbankan binatang dalam jumlah banyak.
  • Pada zaman Aranyaka muncul ajaran bertapa atau meditasi dalam usaha menguak misteri semesta.
  • Pada zaman Upanisad muncul ajaran yang berdasarkan filsafat dan logika. Ajaran dituangkan dalam kitab-kitab Upanisad.
  • Ada beberapa konsepsi penting yang ditemukan para Rsi yang membaca kitab-kitab suci di hutan:
    –Alam semesta diciptakan dari yajna dan dipelihara dengan yajna
    –Konsep Brahman – Atman, Samsara (punarbhawa)
    –Karma, samsara (punarbhawa), dan moksa.

ZAMAN KEMUNDURAN HINDU(600 – 300 SM)

  • Muncul protes dan perlawanan yang menentang ajaran Brahmana, yang mengajarkan upacara yajna, berbagai ritual serta pembunuhan bermacam-macam binatang dalam jumlah yang tidak sedikit, dengan biaya mahal..
  • Gerakan perlawanan ini dipimpin oleh para penganut Buddha, Jaina, Carwaka, dll, yang menolak wewenang dan otoritas kaum Brahmana.
  • Mereka menentang ritual-ritual yang bersumber pada Weda. Sebaliknya mengajarkan, mengagungkan etika tapa-brata, dan penebusan dosa dg disiplin ketat untuk mencapai moksa (bebas dari kelahiran dan kematian).
  • Agama Buddha begitu cepat meluas, ke seluruh masyarakat yang beragama Brahmana. Yang masih taat agama Hindu kebanyakan kaum Brahmana.
  • Pada zaman ini Hindu pecah menjadi 2 (dua) yaitu:
    1. Golongan Heterodoks/rasionalis: penganut Buddha, Jaina, Carwaka dsb
    2. Golongan Orthodoks: penganut Brahmana

ZAMAN KEBANGKITAN HINDU(300 – 200 SM)

  • Pushyamitra seorang Brahmana yang memimpin perlawanan penganut agama Brahmana menyerang penganut Buddha dan golongan rasionalis. Ia menghidupkan kembali upacara Aswamedhayajna.
  • Dalam perlawanan menentang agama Buddha, agama Brahmana (Hindu) pecah menjadi 2 (dua) mazab besar, yaitu Saiwa dan Waisnawa.
  • Mazab Saiwa: Karma Kanda, ritual, kitab Brahmana, memuja Tri Murti.
  • Mazab Waisnawa (Wedantis): Jnana Kanda, menolak ritual, warna, dan kekuasaan Brahmana.
  • Kaum Brahmana melarang pembacaan kitab suci Weda untuk umum, karena takut salah tafsir terhadap kitab suci Weda. Larangan ini membuat para Wedantis membuat kitab suci baru yang disebut: Pancama Weda, seperti: Ramayana, Mahabharata, Bhagawad Gita.
  • Demikian juga kitab-kitab Upanisad disempurnakan; misalnya: Sad Darsana: Samkhya, Yoga, Nyaya, MImamsa, dan Wedanta.
  • Kitab Brahmana: Kalpa Sutra, Grihya Sutra, Dharma Sutra dsb

Daftar Pustaka :

  • Cudamani. 1993. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
  • Maswinara, I Wayan. 1999. Sistem Filsafat Hindu. Surabaya: Paramita.
  • Phalgunadi, I Gst Putu. 2006. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu. Editor: I B Putu Suamba. Denpasar: Widya Dharma.
  • Pudja, G. 1985. Satu Pengantar Dalam Ilmu Weda. Jakarta: Mayasari.
  • Sura, I Gede. 1993. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
  • Tim Penyusun. 1987. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
  • Tim Penyusun. 2005. Pedoman Sembahyang. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.